Sabtu, 30 Mei 2015

FILOSOFT JAWA

Memahami Filosofi Leluhur Jawa


Leluhur masyarakat Jawa memiliki beraneka filosofi yang jika dicermati memiliki makna yang begitu dalam. Tetapi, anehnya filosofi yang diberikan oleh para leluhur itu saat ini dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Dibawah ini ada beberapa contoh filosofi dari para leluhur/nenek moyang masyarakat Jawa.



"Dadio banyu, ojo dadi watu" (Jadilah air, jangan jadi batu).

Kata-kata singkat yang penuh makna. Kelihatannya jika ditelaah memang manungso kang nduweni manunggaling roso itu harus tahu bagaimana caranya untuk dadi banyu.

Mengapa kita manusia ini harus bisa menjadi banyu (air)? Karena air itu bersifat menyejukkan. Ia menjadi kebutuhan orang banyak. Makhluk hidup yang diciptakan GUSTI ALLAH pasti membutuhkan air. Nah, air ini memiliki zat yang tidak keras. Artinya, dengan bentuknya yang cair, maka ia terasa lembut jika sampai di kulit kita.

Berbeda dengan watu (batu). Batu memiliki zat yang keras. Batu pun juga dibutuhkan manusia untuk membangun rumah maupun apapun. Pertanyaannya, lebih utama manakah menjadi air atau menjadi batu? Kuat manakah air atau batu?

Orang yang berpikir awam akan menyatakan bahwa batu lebih kuat. Tetapi bagi orang yang memahami keberadaan kedua zat tersebut, maka ia akan menyatakan lebih kuat air. Mengapa lebih kuat air daripada batu? Jawabannya sederhana saja, Anda tidak bisa menusuk air dengan belati. Tetapi anda bisa memecah batu dengan palu.

Artinya, meski terlihat lemah, namun air memiliki kekuatan yang dahsyat. Tetes demi tetes air, akan mampu menghancurkan batu. Dari filosofi tersebut, kita bisa belajar bahwa hidup di dunia ini kita seharusnya lebih mengedepankan sifat lemah lembut bak air. Dunia ini penuh dengan permasalahan. Selesaikanlah segala permasalahan itu dengan meniru kelembutan dari air. Janganlah meniru kekerasan dari batu. Kalau Anda meniru kerasnya batu dalam menyelesaikan setiap permasalahan di dunia ini, maka masalah tersebut tentu akan menimbulkan permasalahan baru.

"Sopo Sing Temen Bakal Tinemu"

Filosofi lainnya adalah kata-kata "Sopo sing temen, bakal tinemu" (Siapa yang sungguh-sungguh mencari, bakal menemukan yang dicari). Tampaknya filosofi tersebut sangat jelas. Kalau Anda berniat untuk mencari ilmu nyata ataupun ilmu sejati, maka carilah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan menemukannya.

Namun jika Anda berusaha hanya setengah-setengah, maka jangan kecewa jika nanti Anda tidak akan mendapatkan yang anda cari. Filosofi di atas tentu saja masih berlaku hingga saat ini.

"Sopo sing kelangan bakal diparingi, sopo sing nyolong bakal kelangan"
(Siapa yang kehilangan bakal diberi, siapa yang mencuri bakal kehilangan).


Filosofi itupun juga memiliki kesan yang sangat dalam pada kehidupan. Artinya, nenek moyang kita dulu sudah menekankan agar kita tidak nyolong (mencuri) karena siapapun yang mencuri ia bakal kehilangan sesuatu (bukannya malah untung).

Contohnya, ada orang yang dicopet. Ia akan kehilangan uang yang dimilikinya di dalam dompetnya. Tetapi GUSTI ALLAH akan menggantinya dengan memberikan gantinya pada orang yang kehilangan tersebut. Tetapi bagi orang yang mencopet dompet tersebut, sebenarnya ia untung karena mendapat dompet itu. Namun,ia bakal dibuat kehilangan oleh GUSTI ALLAH, entah dalam bentuk apapun.

Dari filosofi tersebut, Nenek moyang kita sudah memberikan nasehat pada kita generasi penerus tentang keadilan GUSTI ALLAH itu. GUSTI ALLAH itu adalah hakim yang adil.

Rabu, 27 Mei 2015

5 hotel termurah di jogja

5 Hotel Murah dengan Fasilitas Mewah di Malioboro

Malioboro selalu menjadi pusat perhatian bagi pelancong yang menginjakkan kaki di Jogja. Aneka jajanan lokal dan suvenir khas Jogja yang dijajakan, barisan delman, hingga lesehan ikonik bikin kawasan ini selalu ramai.

Bukan hanya itu, Malioboro terletak di titik strategis kota, sehingga akan sangat mudah bagi kamu untuk menjajaki setiap sudut Jogja. Pantas saja jika hotel-hotel atau ragam penginapan di kawasan ini tak pernah sepi pengunjung dan berlomba-lomba menawarkan kamar dengan harga terjangkau.

Namun, kamu juga harus teliti saat memilih hotel murah di kawasan ini.
Pasalnya, masih banyak hotel murah yang belum memiliki fasilitas lengkap serta pelayanan yang maksimal.

Berikut lima pilihan hotel murah dengan fasilitas memadai di kawasan Malioboro untuk kamu:

1. Ameera Boutique Hotel

ameera boutique

Dengan tarif mulai dari Rp115.000, kamu bisa menginap di hotel cantik ini. Meski murah, Ameera Boutique Hotel memiliki kamar yang nyaman dan bersih, layaknya hotel berbintang. Kamar yang bersih dan dilengkapi ornamen batik khas Jogja ini membuktikan bahwa murah bukan berarti harus menderita.

Lokasi:
Dari Malioboro, kamu bisa mencapai hotel ini dengan berjalan kaki selama lima menit. Ameera Boutique Hotel juga tidak jauh dari tempat wisata lainnya, seperti Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, atau Kraton Jogja, yang bisa ditempuh dengan 10 hingga 15 menit menggunakan becak, salah satu jenis transportasi khas Jogja.


Fasilitas:
Ameera Boutique Hotel memiliki fasilitas WiFi gratis di area umum dan tempat parkir yang cukup luas. Di area hotel juga terdapat ATM, kedai kopi, dan toko kelontong.

Alamat Ameera Boutique Hotel:
Jl. Dagen No. 13-15, Yogyakarta

2. Whiz Hotel Yogyakarta

Whiz Hotel Yogyakarta

Tetap irit meski menginap di hotel. Whiz Hotel Yogyakarta cocok bagi kamu yang ingin berlibur dengan bujet murah tapi tetap mendapatkan fasilitas lengkap ala hotel. Dengan tarif  minimum sekitar Rp350.000 per malam, kamu sudah bisa menikmati kamar hotel dengan desain minimalis modern di kawasan pusat kota.

Lokasi:
Whiz Hotel Yogyakarta terletak di pusat kota Jogja, tepatnya di kawasan Malioboro. Kamu bisa dengan mudah menikmati suasana khas Malioboro, seperti Malioboro Mall yang hanya berjarak 100 meter, atau kamu juga bisa mampir ke Pasar Beringharjo atau Museum Benteng Vredeburg yang berjarak 600 meter. Jangan lupa beli oleh-oleh di pusat jajanan Bakpia Pathuk yang hanya berjarak 700 mter.

Fasilitas:
Whiz Hotel Yogyakarta memiliki 100 kamar. Setiap kamarnya dialasi oleh lantai kayu dan beberapa kamar memiliki jendela kedap suara. Kamu juga bisa menikmati berbagai fasilitas di Whiz Hotel Yogyakarta, seperti WiFi gratis, TV kabel, lift, hingga kamar mandi dengan shower. Area parkir yang luas pun semakin memudahkan kamu yang membawa kendaraan pribadi.

Alamat Whiz Hotel Yogyakarta:
Jl. Dagen No. 8, Yogyakarta

3. Rene Hotel

rene hotel

Rene Hotel menawarkan sewa kamar dengan tarif paling murah sekitar Rp295.000 per malam. Kombinasi desain ruangan minimalis yang dipercantik dengan ornamen khas Jawa Tengah membuat kamar Rene Hotel nyaman untuk ditempati berhari-hari.

Lokasi:
Rene Hotel terletak di dekat stasiun Tugu Yogyakarta dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang dari 10 menit. Jika kamu ingin merasakan sensasi kopi joss yang telah menjadi salah satu ikon kuliner Jogja, maka Angkringan Lik Man bisa kamu capai dengan berjalan kaki sejauh 200 meter saja. Sedangkan Jalan Malioboro hanya berjarak 300 meter dari hotel.

Fasilitas:
Rene Hotel memiliki pusat kecantikan (spa, sauna, dan salon kecantikan), ruang karaoke, dan juga kedai kopi. Tiap kamar di hotel ini dilengkapi fasilitas AC, TV layar datar, meja, lemari, kamar mandi dengan shower, bathtub, dan perlengkapan mandi gratis.

Alamat Rene Hotel:
Jl. P. Mangkubumi No 57/59, Yogyakarta

4. Gloria Amanda

gloria amanda

Gloria Amanda memiliki kamar yang luas sehingga cocok untuk kamu yang hendak berlibur bersama keluarga dan anak kecil. Dengan tarif kisaran Rp350.000 per malamnya, kamu bisa menikmati kamar yang didesain seperti kamar rumahan pada umumnya. Plus, terdapat sofa di dalam kamar!


Lokasi:
Dari hotel kamu bisa berjalan kaki ke Malioboro Mall dengan waktu sekitar 10 menit. Kamu juga bisa ke Pasar Beringharjo atau Museum Vredeburg yang berjarak 800 meter dari hotel. Sedangkan dari Bandara Adi Sutjipto, kamu membutuhkan waktu 30 menit dengan kendaraan bermotor.

Fasilitas:
Gloria Amanda memiliki WiFi gratis, kolam renang, dan ruang pertemuan berkapasitas hingga 50 orang. Selain itu, Gloria Amanda juga memiliki rooftop, sehingga kamu bisa menikmati pemandangan Malioboro dari hotel.

Alamat Gloria Amanda:
Jl. Sosrowijayan GT 1 No. 195, Yogyakarta

5. Dafam Fortuna Malioboro Yogyakarta

dafam hotel

Jika kamu ingin merasakan sensasi hotel bintang tiga dengan harga yang bersahabat, kamu patut pilih Dafam Fortuna Malioboro Yogyakarta untuk menginap. Tarif dibanderol mulai dari sekitar Rp450.000 per malam, kamu bisa merasakan sensasi berenang sambil menikmati pemandangan Malioboro di kolam renang yang terletak di rooftop.

Lokasi:
Dafam Fortuna Malioboro Yogyakarta hanya berjarak 200 meter dari Malioboro Mall. Selain itu, kamu bisa mengunjungi pusat perbelanjaan lainnya, seperti Kartika Trekking, Pasar Beringharjo, hingga Hamzah Batik (sebelumnya Mirota Batik) yang berjarak 700 meter dan bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi becak atau andong.

Fasilitas:
Selain kolam renang yang berada di rooftop, hotel ini juga memiliki bar yang berada tepat di samping kolam renang. Terdapat lift, WiFi gratis di area umum, hingga layanan sewa mobil bagi kamu yang ingin mengelilingi kota Jogja dengan mudah.

Alamat Dafam Hotel Malioboro Yogyakarta:
Jl. Dagen No. 60, Yogyakarta

5 wisata kuliner di jogja


Ini yang Tak Boleh Terlewat Saat di Yogyakarta: 5 Tempat Wisata Kuliner Istimewa


Ini yang Tak Boleh Terlewat Saat di Yogyakarta: 5 Tempat Wisata Kuliner Istimewa
Tak bisa dipungkiri, Yogyakarta selalu dirindukan oleh warganya yang sedang merantau dan juga wisatawan yang berkunjung. Kamu juga merindukan Yogyakarta?
Seperti magnet, kota ini selalu mampu menarik perhatian pecinta wisata budaya sekaligus  kuliner. Yogyakarta tak hanya kaya dengan budaya, tapi juga mampu menyajikan beragam kuliner lezat khasnya.

Yogyakarta adalah sebuah paket lengkap! Sambil berkeliling kota, kamu bisa memuaskan lidah dan perut di 5 tempat yahud berikut ini:

1. Angkringan Lik Man, kopi unik satu-satunya di dunia



Pasang telinga baik-baik, begitu dicelupkan, kamu akan mendengar suara ‘joooossss’. (sumber:keyogyakarta.com)
Pasang telinga baik-baik, begitu dicelupkan, kamu akan mendengar suara ‘joooossss’. (sumber:keyogyakarta.com)
Istilah angkringan ini tentunya sudah tak asing lagi di Yogyakarta. Bagi yang belum tahu, angkringan ini adalah warung sederhana yang menyajikan makanan murah meriah tapi bisa bikin kenyang seperti nasi kucing dan beragam gorengan. Tapi bukan itu yang bikin angkringan menarik.
Angkringan menawarkan kehangatan dalam percakapan ala ‘rakyat biasa’ mengenai beragam topik mulai dari sepak bola sampai politik negara. Menjelang malam, Yogyakarta semakin hidup dengan mulai digelarnya banyak lapak angkringan di jalanan Yogyakarta. Dari semua angkringan yang ada, Angkringan Lik Man juaranya.
Apa sih menariknya Angkringan Lik Man ini? Angkringan Lik Man punya menu istimewa, Kopi Joss.

Kopi ini disajikan dengan bongkahan arang panas yang masih merah membara.

Apakah aman? Menurut penikmatnya, Kopi Joss ini bisa meredakan gejala masuk angin dan mampu menghangatkan tubuh.
Untuk masalah rasa, arang panas yang dicelupkan dalam kopi membuat Kopi Joss memiliki rasa dan aroma khas yang sulit dilupakan. Kalau kamu memang pecinta kopi, kamu wajib mencicipi Kopi Joss ala Lik Man ini.

Alamat: Jalan Wongsodirjan (sebelah Stasiun Tugu), Yogyakarta.

2. Kedai Rakjat Djelata, nostalgia lewat beragam sajian lezat tempo dulu



Kosongkan perut sebelum datang karena kamu akan kalap dan menghabiskan sajian tempo dulu ini. (sumber: sajiansedap.com)
Kosongkan perut sebelum datang karena kamu akan kalap dan menghabiskan sajian tempo dulu ini. (sumber: sajiansedap.com)
Dari ejaan kuno yang digunakan, sudah terbayang bahwa tempat wisata kuliner ini mengusung konsep tempo dulu. Masuk ke dalam, kamu akan dibawa ke suasana masa lalu dengan hiasan sepeda onthel di dalam ruangan dan peralatan makan yang terbuat dari seng dengan motif khas. 
Tak hanya dekorasi dan peralatan makannya, menu makanan yang ditawarkan pun tak kalah vintage. Di sini, kamu bisa menemukan minuman yang sebelumnya hanya kamu dengar dari cerita kakek nenek seperti teh oewoeh dan es kembang desa.
Semua menu diolah dan disajikan dengan suasana masa lalu. Kamu sudah akrab dengan roti bakar dan pisang bakar?

Mungkin kamu terbiasa dengan topping keju dan susu di atasnya, tapi Kedai Rakjat Djelata membuatnya lebih istimewa.

Dua kudapan ini disajikan dengan lelehan saus gula Jawa. Sensasi berbeda dan aroma tempo dulu pun kian terasa di sini.

Alamat: Jalan Dr. Soetomo 54, Yogyakarta.




3. Sate Klathak Pak Pong, sate minim bumbu yang nikmatnya maksimal



Tampilan sederhana bukan berarti rasanya biasa saja karena sate ini luar biasa nikmatnya. (sumber: wisatahandal.com)
Tampilan sederhana bukan berarti rasanya biasa saja karena sate ini luar biasa nikmatnya. (sumber: wisatahandal.com)
Ini tempat yang wajib didatangi kalau kamu penggemar sate kambing. Kalau kamu mengajak temanmu yang kurang menyukai sajian ini, percayalah, ia akan menjadi pecinta sate kambing sepulangnya dari Sate Klathak Pak Pong.
Sate Klathak Pak Pong berbeda dari sate kambing lainnya. Kamu mungkin terbiasa menikmati sate yang diluri banyak bumbu sebelum dibakar, sate klathak khas Pak Pong ini hanya menggunakan merica dan garam saja. Tapi kamu tak boleh meragukan rasanya. Kesederhanaan bumbu ini malah membuat sate memiliki rasa nikmat dan pas di lidah.
Keunikan Sate Klathak Pak Pong tak cukup sampai di situ.

Sate ini tidak menggunakan tusuk sate yang biasa terbuat dari bambu, tapi dengan jeruji besi!

Penggunaan jeruji besi ini membuat kematangan daging lebih merata. Selain itu juga sebagai bukti peduli lingkungan karena bisa digunakan berkali-kali.

Alamat: Jalan Stadion Sultan Agung, Bantul, Yogyakarta.


4. Kalimilk, yang enak juga bisa bikin sehat



Sajian sehat dan nikmat yang bisa bikin lidahmu bergoyang. (sumber: mariannasuryana.blogpost.com)
Sajian sehat dan nikmat yang bisa bikin lidahmu bergoyang. (sumber: mariannasuryana.blogpost.com)
Hidup sehat di Yogyakarta! Jika di kota-kota lain coffee shop bertebaran, lain halnya dengan yang terjadi di kota ini. Kedai susu murni menjamur di Yogyakarta, salah satu yang populer adalah Kalimilk.

Kalimilk adalah pelopor berjayanya kedai susu di Yogyakarta. Kedai ini menawarkan susu murni beragam rasa dengan porsi reguler dan porsi gajah alias jumbo. Untuk varian rasa, kamu harus coba susu durian, cokelat, green tea dan cookies yang super enak. Tak hanya susu, Kalimilk juga menyediakan aneka snack seperti sandwich, sosis bakar dan juga kentang goreng.
Untuk pelanggannya, Kalimilk punya panggilan unik. Kamu yang datang ke kedai ini disebut sebagai Neneners. Kenapa Neneners? Karena berasal dari kata ‘nenen’ yang berarti menyusu.

Alamat: Jalan Kaliurang KM 4,9, Yogyakarta.

5. Gudeg Pawon, ahlinya gudeg sejak 1958



Masuk langsung ke dapur pembuatan gudeg dan pilih langsung lauknya. (sumber: jogja2.com)
Masuk langsung ke dapur pembuatan gudeg dan pilih langsung lauknya. (sumber: jogja2.com)
Tak lengkap rasanya membahas Yogyakarta tanpa gudegnya. Di kota ini, kamu tak akan kesulitan menemukan tempat yang menjual gudeg, tapi apa kamu yakin mau menikmati gudeg yang itu-itu saja? Jangan ragu datang ke Gudeg Pawon.
Kenapa Gudeg Pawon? Tempat makan yang sudah berdiri sejak tahun 1958 ini melayani pelanggannya di dapurnya langsung atau yang dalam bahasa Jawa disebut ‘pawon’. Di sini, kamu bisa melihat langsung bagaimana daging nangka muda itu dimasak menjadi hidangan super lezat.
Gudeg Pawon ini cocok buat kamu yang sulit tidur di malam hari karena kelaparan. Buka mulai jam 10 malam, Gudeg Pawon selalu penuh diserbu pelanggannya. Gudeg porsi besar dengan lauk ayam dan telur ditambah segelas teh hangat akan membuat malammu di Yogyakarta lebih berkesan.

Alamat:
Jalan Dr. Soepomo, Umbulharjo, Yogyakarta.





Kamis, 05 Februari 2015

KESULTANAN YOGYAKARTA



Nagari Kasultanan Ngayogyakarta

1755–1950 →




Praja Cihna, Lambang Kesultanan Yogyakarta
Wilayah Yogyakarta pada 1830 (warna hijau)
Ibu kota Kota Yogyakarta
Bahasa Jawa 1755-1950, Belanda 1755-1811; 1816-1942, Inggris 1811-1816, Jepang 1942-1945, Indonesia 1945-1950
Agama Islam, Kejawen
Pemerintahan Monarki (kesultanan)
Sultan
- Pertama (1755-1792) ISKS Hamengku Buwono I
- Sultan terakhir sebelum penurunan status negara (1940-1950; wafat 1988) ISKS Hamengku Buwono IX
- Sekarang (sejak 1989) ISKS Hamengku Buwono X
Pepatih Dalem (Menteri Pertama)
- Pertama (1755-1799) Danurejo I
- Terakhir (1933-1945) Danurejo VIII
Sejarah
- Pembentukan: Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755
- Penurunan status: Pengundangan UU No. 3 Tahun 1950 4 Maret 1950
---
Status Politik:

De facto merdeka (1755-1830)
De jure negara dependen dari VOC (1755-1799)
De jure negara dependen dari Republik Bataav/Franco Nederland (1800-1811)
De jure negara dependen dari EIC (Inggris) (1811-1816)
De jure negara dependen dari Nederlands Indie (1816-1830)
Negara dependen dari Nederlands Indie (1830-1842)
Negara dependen dari Kekaisaran Jepang (1942-1945)
Negara dependen/daerah istimewa dari Republik Indonesia dengan bentuk monarki persatuan berparlemen (1945-1950)
Status negara diturunkan secara resmi menjadi status daerah istimewa setingkat dengan provinsi (1950)
---
Lain-Lain
Hymne Sultan : Gending Monggang
Sebagian wilayah didirikan Negara Kepangeranan Pakualaman pada 1813

Pagelaran Kraton Yogyakarta
Sri Sultan Hamengkubuwono X

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Hanacaraka: ꦟꦓꦫꦶ​ꦔꦪꦺꦴꦓꦾꦑꦂꦡ​ꦲꦢꦶꦟꦶꦁꦫꦡ꧀ - Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat) adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 Wikisource-logo.svg (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Daftar isi

1 Awal riwayat
2 Wilayah dan penduduk
2.1 Wilayah
2.2 Penduduk
3 Pemerintahan dan politik
4 Hukum dan peradilan
5 Ekonomi dan agraria
6 Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan
7 Pertahanan dan keamanan
7.1 Prajurit Kraton Yogyakarta[3]
8 Akhir riwayat
9 Daftar sultan Yogyakarata
10 Keraton Yogyakarta
11 Peristiwa penting
11.1 Abad ke-18
11.2 Abad ke-19
11.3 Abad ke-20
12 Glosarium
13 Referensi
14 Pranala luar
15 Catatan kaki
16 Lihat pula

Awal riwayat
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perjanjian Giyanti

Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai.

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.

Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping .... ing Ngayogyakarto " (Indonesia: "yang bertahta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Tua) untuk Hamengku Buwono II.
Wilayah dan penduduk
Wilayah

Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).

Nagari Ngayogyakarta meliputi:

(1) Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
(2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.

Nagara Agung meliputi:

(1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
(2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
(3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
(4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
(5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).

Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada tahun 1757.

Manca Nagara meliputi:

(1) Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:

(a) Madiun Kota,
(b) Magetan,
(c) Caruban, dan
(d) Setengah Pacitan;

(2) Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:

(a) Kertosono,
(b) Kalangbret, dan
(c) Ngrowo (Tulung Agung);

(3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
(4) Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:

(a) Jipang (Ngawen) dan
(b) Teras Karas (Ngawen);

(5) Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:

(a) Selo atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram),
(b) Warung (Kuwu-Wirosari), dan
(c) Sebagian Grobogan.

Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.

Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).
Penduduk
Potret putra dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta (1870).

Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.

Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.
Pemerintahan dan politik
Koridor di depan Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno. Dari bangunan yang disebut terakhir ini Sultan mengendalikan seluruh kerajaan.

Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.[2]

Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:

(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
(2) Kanayakan Keparak Tengen,

yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;

(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan Gedhong Tengen,

yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.

Kementerian urusan luar adalah

(5) Kanayakan Siti Sewu, dan
(6) Kanayakan Bumijo,

yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;

(7) Kanayakan Panumping, dan
(8) Kanayakan Numbak Anyar,

yang keduanya mengurusi pertahanan.

Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.

Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.
L. F. Dingemans, residen Belanda di Yogyakarta (1926)

Setidaknya sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.

Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.

Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan ditahtakan. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.

Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan ditahtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.

Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
Alun-alun Lor, saksi bisu kemegahan sebuah pemerintahan negara

Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.

Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern.
Hukum dan peradilan

Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.

Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.

Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradoto dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.

Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.
Ekonomi dan agraria

Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.

Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.

Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.

Restrukturisasi pada zaman HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.
Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan
Gerbang Danapratapa, Keraton Yogyakarta, antara seni, filsafat, kosmologi, kebiasaan umum (adat istiadat), sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam kebudayaan Jawa.

Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).

Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.

Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
Para penari tarian Beksan Entheng, sekitar tahun 1870.

Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).

Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Pada 1946, kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.

Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
Pertahanan dan keamanan

Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Manca Nagara.

Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan Putra mahkota dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh Daendels pada 1810 dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.

Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam perang Pasifik Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.
Prajurit Kraton Yogyakarta[3]
Lambang Keraton Yogyakarta. Lambang ini digunakan pada seluruh Abdi Dalem Perajurit Keraton Yogyakarta yaitu sebagai pin pada baju seragam dan sebagai pengunci ikat pinggang untuk perlengkapan seragam Perajurit.

Layaknya sebuah kerajaan, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Kraton Yogyakarta juga mempunyai beberapa tentara atau satuan-satuan militer. Satuan-satuan militer di Keraton Yogyakarta ini disebut dengan Abdi Dalem Prajurit. Dalam sejarahnya, Kraton Yogyakarta pernah memiliki 15 satuan militer dan masing-masing memiliki nama dan fungsi yang berbeda-beda. Dari 15 satuan militer yang keseluruhannya satuan infanteri tersebut, saat ini baru diaktifkan sebanyak 11 satuan setelah sempat dibubarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai antisipasi pemanfaatan Abdi Dalem Prajurit oleh Jepang untuk digunakan dalam Perang Pasifik Timur di masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945.

Pada awal pembentukannya oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I (ketika itu masih bernama Pangeran Mangkubumi) satuan-satuan Abdi Dalem Prajurit sangatlah kuat. Tercatat Abdi Dalem Prajurit pernah mengalahkah Pasukan Kompeni Belanda di masa pengasingan Sri Sultan Hamenku Buwana I sebelum diadakannya Perjanijian Giyanti tahun 1755. Pada pertempuran-pertempuran tersebut, Abdi Dalem Prajurit bahkan berhasil membunuh perwira-perwira Belanda seperti Letnan Coen yang tewas dalam Perang Gowang, Letna Van Gier tewas pada Perang Grobogan, Letnan Foster tewas dalam Perang Gunung Tidar dan Mayor Clereq dan Kapten Winter yang tewas dalam Perang Jenar/Bogowonto bersama 3.801 Prajurit Kompeni Belanda lainnya. Bahkan ada sebuah pusaka Kraton Yogyakarta berupa Tombak yang bernama Kangjeng Kyai Klerk sebagai bentuk pemulyaan ketika tombak tersebut digunakan untuk membunuh Mayor Clereq pada Perang Jenar/Bogowonto oleh salah seorang Abdi Dalem Perajurit Mantrijero.

Untuk saat ini Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta tidaklah kuat dan tidak pula memiliki fungsi dan tugas untuk bertempur. Seluruh kesatuan Abdi Dalem Prajurit yang ada diperuntukkan untuk mengawal dalam upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta seperti pada saat Upacara Gunungan atau lebih dikenal dengan Gerebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, yaitu Grebeg Sekaten, Grebeg Maulud, dan Grebeg Syawal. Berikut adalah sekilas tentang 15 satuan Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta.

Abdi Dalem Prajurit Wirabraja.
Abdi Dalem Prajurit Dhaheng
Abdi Dalem Prajurit Patangpuluh
Abdi Dalem Prajurit Jagakarya
Abdi Dalem Prajurit Prawiratama
Abdi Dalem Prajurit Nyutra
Abdi Dalem Prajurit Ketanggung
Abdi Dalem Prajurit Mantrijero
Abdi Dalem Prajurit Bugis
Abdi Dalem Prajurit Surakarsa
Abdi Dalem Prajurit Langenhastra
Abdi Dalem Prajurit Somaatmaja
Abdi Dalem Prajurit Jager
Abdi Dalem Prajurit Suranata
Abdi Dalem Prajurit Suragama

Akhir riwayat
Hamengku Buwono IX
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Keistimewaan dan Pemerintahan Prop. DIY

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 secara resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Daftar sultan Yogyakarata
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar raja Jawa#Mataram Baru
Keraton Yogyakarta
Pendapa Museum Hamengku Buwono IX di Keraton Yogyakarta.
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Istana atau Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dirancang sendiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I saat mendirikan Kasultanan. Keahliannya dalam bidang arsitektur antara lain dihargai oleh Dr. Pigeund dan Dr. Adam, yaitu para peneliti berkebangsaan Belanda. Bagian-bagian keraton adalah

(1) Kompleks Alun-alun Lor yang terdiri dari sub kompleks: Gladhak-Pangurakan, Alun-alun Lor, Mesjid Ageng, dan Pagelaran;
(2) Kompleks Siti Hinggil Lor;
(3) Kompleks Kamandhungan Lor;
(4) Kompleks Sri Manganti;
(5) Kompleks Kedhaton yang terdiri dari sub kompleks: Pelataran Kedhaton, Ksatriyan, Keputren, dan Kraton Kilen;
(6) Kompleks Kamagangan;
(7) Kompleks Kamandhungan Kidul;
(8) Kompleks Siti Hinggil Kidul; dan
(9) Kompleks Alun-alun Kidul dan Nirbaya.

Keraton Yogyakarta Ngayogyakarta Hadiningrat selain merupakan kediaman resmi Sultan, saat ini juga berfungsi sebagai salah satu cagar budaya masyarakat Jawa. Sebagai pusat budaya, keraton sering melaksanakan kegiatan-kegiatan budaya dan merupakan salah satu tujuan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sering didatangi para wisatawan dalam dan luar negeri.
Peristiwa penting
Abad ke-18

1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya dan para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
1750, RM Said (MN I) yang telah menjadi perdana menteri P Mangkubumi menggempur Surakarta.
1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.
1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya yang diberi nama Ngayogyakarta.
1773, Angger Aru-biru yang menjadi acuan dalam peradilan yang pertama disahkan.
1774, Putra mahkota (kelak HB II) menulis buku Serat Raja Surya yang kemudian menjadi pusaka.
1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak dan diselesikan dalam 2 tahun.
1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan control VOC.
1799, Danurejo I wafat dan diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.

Abad ke-19

1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister dan perubahan kedudukannya yang sejajar dengan Sultan dan Sunan.
1810, Awal prahara politik Yogyakarta yang akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat dan digantikan oleh Notodiningrat (PA II). Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer dan mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.
1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yang menjadi pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II merebut kembali tahtanya. HB III dikembalikan dalam posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro (Danurejo III) menjadi Pepatih Dalem.
1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan dan dibuang ke Penang (wilayah Malaysia sekarang). 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan dan demiliterisasi birokrasi kerajaan.
1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yang mengepalai sebuah principality yang terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yang bergelar Danurejo IV.
1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yang masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yang tidak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.
1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.
1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum (KUH) ditetapkan bersama Yogyakarta dan Surakarta.
1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yang masih berusia 3(4) diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yang terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro dan Danurejo IV dibentuk.
1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tidak membawa hasil.
1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru.

Kasultanan pada tahun 1830 (berwarna hijau dan berada di sebelah selatan)

1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.
1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.
1848, Peraturan yang mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
1867, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak dan gagal.

Abad ke-20

1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan dan pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.
1908, 20 Mei, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.
1912, 18 November, Muhammadiyah didirikan oleh Mas Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.
1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi dua APBN.
1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.
1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.
1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.
1921, Sultan HB VIII bertahta. Kesultanan Yogyakarta memiliki dua APBN.
1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang kerabat Paku Alaman.
1933, 30 November, Danurejo VIII dilantik menggantikan Danurejo VII.
1940, 18 Maret, Sultan HB IX menandatangani Kontrak Politik terakhir dengan Hindia Belanda.
1942, Maret, Jepang datang. 1 Agustus, Sultan HB IX diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.
1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem.

Peta tahun 1945

1945, 15 Juli, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun. 1 Agustus, Restorasi HB IX. 5 September, Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia. 30 Oktober, HB IX dan PA VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada BP KNID Yogyakarta.
1946, 4 Januari, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan. 18 Mei, Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan dan Paku Alaman.
1947, Pengadilan Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah Indonesia.
1950, 4 Maret, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi, dan mulai berlaku pada 15 Agustus.
1965, 1 September, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
1988, Sultan HB IX wafat.

Glosarium

ISKS: Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan.
Karaton: Istana, tempat kedudukan Parentah Lebet dan tempat tinggal raja dan keluarganya.
Koo: Penguasa atas daerah dengan status Kooti
Kooti: Daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang tunduk kepada Kekaisaran Jepang.
Kutagara: lihat Nagari
Kuta nagara: lihat Nagari
Manca nagara: Teritori/negara asing yang ditaklukkan oleh raja dan menjadi wilayah kerajaan paling luar yang diperintah oleh para bupati (Gubernur) yang ditunjuk oleh raja atau mantan penguasa daerah yang telah tunduk.
Nagara Agung: Teritori yang mengelilingi teritori Nagari, tempat tanah lungguh pejabat kerajaan.
Nagari: Teritori ibukota, tempat kedudukan Parentah Jawi dan tempat kediaman para pangeran dan pejabat tinggi kerajaan.
Parentah Ageng Karaton: Pemerintahan Istana (Imperial House) yang bertugas mengkoordianasikan semua bagian pemerintahan dalam istana.
Parentah Jawi: Pemerintahan yang berpusat di nagari (teritori ibukota) dan dikepalai oleh Pepatih Dalem.
Parentah Lebet: Pemerintahan yang berpusat di karaton (istana) dan dikepalai oleh saudara atau putra Sultan. Lihat Parentah Ageng Karaton.
Parentah Nagari: lihat Parentah Jawi.
Pepatih Dalem: Perdana menteri, orang kedua setelah Sultan dan Residen/Gubernur Hindia Belanda, bertugas mengurus pemerintahan khususnya Parentah Jawi/Nagari.
Pepatih Jawi: Pembantu Sultan untuk mengurus rakyat, mengurus Parentah Nagari, mengurus teritori Manca nagara, dan menjalin hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam perkembangannya disebut dengan Pepatih Dalem.
Pepatih Lebet: Pembantu Sultan untuk mengurus keluarga kerajaan dan Parentah Lebet. Dalam perkembangannya jabatan ini dihapus; sebagian kewenangannya diambil oleh Pepatih Dalem dan sebagian lain diserahkan pada saudara atau putra Sultan.
Tanah Lungguh: Tanah Jabatan (Appenage Land), tanah yang hasilnya digunakan oleh pejabat sebagai ganti dari gaji bulanan.

Referensi

Chamamah Soeratno et. al. (ed) (2004). Kraton Yogyakarta:the history and cultural heritage (2nd print). Yogyakarta and Jakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Associations. 979-96906-0-9.
P.J. Suwarno (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-497-123-5.
S. Margana (2004). Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan The Toyota Foundation.

Pranala luar

(Indonesia) Sejarah Kota Yogyakarta Situs Resmi Pemerintah DI Yogyakarta
(Indonesia) Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta (28 Oktober 2008)
Panduan Pariwisata Yogyakarta dan sekitarnya

Catatan kaki

^ Nama resmi ini mengacu pada naskah dalam bahasa Jawa dari Perjanjian Politik 1940 Wikisource-logo.svg. Nama resmi lainnya yang terdapat dalam dokumen resmi adalah Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat ( Amanat 5 September 1945 Wikisource-logo.svg ), Daerah Kesultanan Yogyakarta ( Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg )
^ Mulanya terdapat dua pepatih yaitu Pepatih Lebet dan Pepatih Jawi. Dalam perkembangannya Pepatih lebet dihapuskan dan Pepatih Jawi disebut sebagai Pepatih Dalem.
^ Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta

Lihat pula

Sejarah Nusantara
Kasunanan Surakarta
Kadipaten Paku Alaman
Praja Mangkunagaran
Danurejo VIII
Kota Yogyakarta
Bendera Kesultanan (Kyai Tunggul Wulung)
Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Daerah Istimewa Yogyakarta
Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

Didahului oleh:
Kasunanan Surakarta Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
1755–1813 Diteruskan oleh:
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Kadipaten Paku Alaman
Didahului oleh:
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
1813–1950 Diteruskan oleh:
Daerah Istimewa Yogyakarta



Vengaboys - Shalala lala